aku berlayar menuju luka matahari
menuju rindu tempat kau tanam duka
di pelabuhan tak bernama mungkin tiada
hanya satu isyarat kau wartakan kala itu
: kau menyebutnya cinta
dari manis ucapan mendenyutkan urat nadi
layarku mengembang
mencabik duka
merobek dada
mengkoyak jiwa
seribu tualang juga pengembaraan kulalui
dari perjalanan sehabis petang
dengan layar gontai;menguntai serpihan imaji yang ketelingsut di dada kiri
sejenak berilusi
bahkan berhalusinasi
: terbuai lena akan keniscayaan
dijalanan matahari sauh tak jua kudapati
dimana dirimu?
hanya riakriak kecil menyentuh ujung kaki
rupanya anakanak pantai memecah gulungan ombak
menggulung sauh hingga berserak
seraya tak percaya;layarku patah jadi dua
kujejak tanah tempatku berpijak
kaki bersinggungan semak
menapaki belukar perdu juga tangkai padma
mawar berduri pun tak ku anggap ada
berjalan tiada henti demi mendapatimu;dijalan gelap tanpa cahaya
menyibak gelombang;kuhantam karang
( bertanya pada laut yang menenggelamkan matahari )
dimana rimba rindu mu hendak kutaut
sedang diri tak temukan mu berdiri di tepi laut
aku berputar
mencari titik dimana langkahku menjejak
apakah ini hanya igauan?
kembali jiwa dilanda resah
ketika kusadar
laut menenggelamkanmu bersama matahari yang sempat kau isyaratkan
: cinta
( kini aku pahami isyarat itu )
Senin, 10 September 2012
Minggu, 09 September 2012
Elegi Senja
Sekelumit doa dan senja terdampar di pucat bianglala
Mentari dan kepak camar saling berebut selimut malam
Diantar sahutan kumandang adzan mencari perlindungan
Mereka bertasbih memuji Tuhannya
Kujemput rakaat di mimbar paling sunyi
Dan barat adalah tempat berkumpulnya mata hati
Sebuah elegi senja telah aku tuntaskan
Menjadikannya isyarat menuai malam
Syair malam rakaat purba, menelisik relung jiwa atas dosa-dosa
Di seuntai gemerlap duniawi mata memandang ke arah arsyi
Nampaklah kengerian, sudikah kiranya Tuhan berikan surga untukku
Dentuman hati terpancang bisu
Kaku mata tak sanggup menelaah tipuan fana
Sejenak tafakurkan diri
Mengharap cahaya Illah, Rabb'ul Izzati
Mentari dan kepak camar saling berebut selimut malam
Diantar sahutan kumandang adzan mencari perlindungan
Mereka bertasbih memuji Tuhannya
Kujemput rakaat di mimbar paling sunyi
Dan barat adalah tempat berkumpulnya mata hati
Sebuah elegi senja telah aku tuntaskan
Menjadikannya isyarat menuai malam
Syair malam rakaat purba, menelisik relung jiwa atas dosa-dosa
Di seuntai gemerlap duniawi mata memandang ke arah arsyi
Nampaklah kengerian, sudikah kiranya Tuhan berikan surga untukku
Dentuman hati terpancang bisu
Kaku mata tak sanggup menelaah tipuan fana
Sejenak tafakurkan diri
Mengharap cahaya Illah, Rabb'ul Izzati
Lorong Doa
#1
Ketika aku pudar dan tak mampu menggenggam kabut
Ketika angin melenyapkan kata-kata di keningku
Ketika bathin terkoyak di tumpukan belulang zaman
Aku ingin Engkau mengasuh lentik matahari yang sembunyi di ketiak ku
Mendinginkan baranya
Hempaskan limbaknya yang gaduh mengguruh
#2
Disaat aku kehilangan arah dan kuyup basah oleh gigil hujan
Disaat kalut melintas di dahi berkerut
Dan saat raga tak mampu menopang gerak langkah
Tunjukkan padaku bahwasanya ada kuasaMu mengalir di sungai jiwaku
#3
Tuhan,
Tuliskan qalamMu pada segenap jiwaku yang ringkih
Hingga tak ku rasai perih
Sebait saja ucapan salam dari surga
Biar kucari hakikat cinta
Dan kutapaki jejak rahmah menuju singgasanaMu
Ketika aku pudar dan tak mampu menggenggam kabut
Ketika angin melenyapkan kata-kata di keningku
Ketika bathin terkoyak di tumpukan belulang zaman
Aku ingin Engkau mengasuh lentik matahari yang sembunyi di ketiak ku
Mendinginkan baranya
Hempaskan limbaknya yang gaduh mengguruh
#2
Disaat aku kehilangan arah dan kuyup basah oleh gigil hujan
Disaat kalut melintas di dahi berkerut
Dan saat raga tak mampu menopang gerak langkah
Tunjukkan padaku bahwasanya ada kuasaMu mengalir di sungai jiwaku
#3
Tuhan,
Tuliskan qalamMu pada segenap jiwaku yang ringkih
Hingga tak ku rasai perih
Sebait saja ucapan salam dari surga
Biar kucari hakikat cinta
Dan kutapaki jejak rahmah menuju singgasanaMu
Sebuah Cerita
Aku yang sedang sendu teringat ibuku
Pernah ia bercerita tentang ketika aku terlahir yatim
Saat itu mentari tengah piatu
Padam tanpa bara
Hanya kecipak telaga memecah keheningan
Riaknya serupa goresan
Menuliskan alur kehidupan
Kehidupanku di tanah peradaban
Hingga tertidur panjang
Pernah ia bercerita tentang ketika aku terlahir yatim
Saat itu mentari tengah piatu
Padam tanpa bara
Hanya kecipak telaga memecah keheningan
Riaknya serupa goresan
Menuliskan alur kehidupan
Kehidupanku di tanah peradaban
Hingga tertidur panjang
Puisi Yang Terkoyak
Teringat ketika aku menulis puisi
Di sebongkah cermin yang retak, hatimu
Baitnya serupa gelas retak yang berserak
Belumlah ia ku beri raut
Namun badai topan merobeknya
Membuat ia terburai dan hancur berkeping-keping
Puisi serupa harapan gugur,
terkoyak
Di sebongkah cermin yang retak, hatimu
Baitnya serupa gelas retak yang berserak
Belumlah ia ku beri raut
Namun badai topan merobeknya
Membuat ia terburai dan hancur berkeping-keping
Puisi serupa harapan gugur,
terkoyak
Kenangan Untuk Dinda
: Kepada Dinda
Masih kah kau mengingatnya?
Kenangan tempo dulu yang kita ukir di wajah kekasih
Kita mengeja riakriak telaga dibawah purnama
Tentang sukacita embun yang memeluk dahan jambu
Beria kita di bawahnya
Di tepi telaga yang kusebut kenang
Sebatas kenang dari matamu yang kunangkunang
Ku buatkan engkau perahu kertas dari surat cinta yang kau kabarkan padaku
Dari bentang takdir yang Dia alamatkan pada kita
Ya, tentang asmara dua hati yang tak bertaut oleh sebab kematian
Dulu sekali ku ingin bercerita tentang matahari yang dingin di punggungmu
Dan pelangi tampak berkilau dengan warnawarna di matamu
Saat kita hitung berapa lembar daun yang gugur menjadi kertas tempat kita torehkan cerita sebuah masa
Namun, tidaklah kau tahu bahwa kabut telah menutup pandangku dari melihatmu
Kini hanya aksaraaksara beku dan ayatayat yang terukir di batu nisan terkikis tempias hujan di sudut luka
Sisakan abadi sebuah duka
Aku mengingatnya, kusebut sejarah
Sekarang engkau seonggok tubuh kaku
Berselimut duka dan abadi di bawah kamboja
Dan bau kenanga dan beberapa helai kelopak mawar
Tak lagi kurasa wangi yang kau semat di dada
Dinda, perahu kertas itu kini berlayar
Bersama surat cinta dengan ribuan rindu yang tertulis di dalamnya
Berlayar menuju dermaga tempat engkau menambatkan hati
Berlayar di genang mataku yang serupa danau
Tempat kita berpesta sesaat
Masih kah kau mengingatnya?
Kenangan tempo dulu yang kita ukir di wajah kekasih
Kita mengeja riakriak telaga dibawah purnama
Tentang sukacita embun yang memeluk dahan jambu
Beria kita di bawahnya
Di tepi telaga yang kusebut kenang
Sebatas kenang dari matamu yang kunangkunang
Ku buatkan engkau perahu kertas dari surat cinta yang kau kabarkan padaku
Dari bentang takdir yang Dia alamatkan pada kita
Ya, tentang asmara dua hati yang tak bertaut oleh sebab kematian
Dulu sekali ku ingin bercerita tentang matahari yang dingin di punggungmu
Dan pelangi tampak berkilau dengan warnawarna di matamu
Saat kita hitung berapa lembar daun yang gugur menjadi kertas tempat kita torehkan cerita sebuah masa
Namun, tidaklah kau tahu bahwa kabut telah menutup pandangku dari melihatmu
Kini hanya aksaraaksara beku dan ayatayat yang terukir di batu nisan terkikis tempias hujan di sudut luka
Sisakan abadi sebuah duka
Aku mengingatnya, kusebut sejarah
Sekarang engkau seonggok tubuh kaku
Berselimut duka dan abadi di bawah kamboja
Dan bau kenanga dan beberapa helai kelopak mawar
Tak lagi kurasa wangi yang kau semat di dada
Dinda, perahu kertas itu kini berlayar
Bersama surat cinta dengan ribuan rindu yang tertulis di dalamnya
Berlayar menuju dermaga tempat engkau menambatkan hati
Berlayar di genang mataku yang serupa danau
Tempat kita berpesta sesaat
Langganan:
Postingan (Atom)