Senin, 10 September 2012

Isyarat Luka Matahari

aku berlayar menuju luka matahari

menuju rindu tempat kau tanam duka

di pelabuhan tak bernama mungkin tiada

hanya satu isyarat kau wartakan kala itu

: kau menyebutnya cinta

dari manis ucapan mendenyutkan urat nadi

layarku mengembang

mencabik duka

merobek dada

mengkoyak jiwa

seribu tualang juga pengembaraan kulalui

dari perjalanan sehabis petang

dengan layar gontai;menguntai serpihan imaji yang ketelingsut di dada kiri

sejenak berilusi

bahkan berhalusinasi

: terbuai lena akan keniscayaan

dijalanan matahari sauh tak jua kudapati

dimana dirimu?

hanya riakriak kecil menyentuh ujung kaki

rupanya anakanak pantai memecah gulungan ombak

menggulung sauh hingga berserak

seraya tak percaya;layarku patah jadi dua

kujejak tanah tempatku berpijak

kaki bersinggungan semak

menapaki belukar perdu juga tangkai padma

mawar berduri pun tak ku anggap ada

berjalan tiada henti demi mendapatimu;dijalan gelap tanpa cahaya

menyibak gelombang;kuhantam karang

( bertanya pada laut yang menenggelamkan matahari )

dimana rimba rindu mu hendak kutaut

sedang diri tak temukan mu berdiri di tepi laut

aku berputar

mencari titik dimana langkahku menjejak

apakah ini hanya igauan?

kembali jiwa dilanda resah

ketika kusadar

laut menenggelamkanmu bersama matahari yang sempat kau isyaratkan

: cinta

( kini aku pahami isyarat itu )

Minggu, 09 September 2012

Elegi Senja

Sekelumit doa dan senja terdampar di pucat bianglala
Mentari dan kepak camar saling berebut selimut malam
Diantar sahutan kumandang adzan mencari perlindungan
Mereka bertasbih memuji Tuhannya

Kujemput rakaat di mimbar paling sunyi
Dan barat adalah tempat berkumpulnya mata hati
Sebuah elegi senja telah aku tuntaskan
Menjadikannya isyarat menuai malam

Syair malam rakaat purba, menelisik relung jiwa atas dosa-dosa
Di seuntai gemerlap duniawi mata memandang ke arah arsyi
Nampaklah kengerian, sudikah kiranya Tuhan berikan surga untukku

Dentuman hati terpancang bisu
Kaku mata tak sanggup menelaah tipuan fana
Sejenak tafakurkan diri
Mengharap cahaya Illah, Rabb'ul Izzati

Lorong Doa

#1
Ketika aku pudar dan tak mampu menggenggam kabut
Ketika angin melenyapkan kata-kata di keningku
Ketika bathin terkoyak di tumpukan belulang zaman
Aku ingin Engkau mengasuh lentik matahari yang sembunyi di ketiak ku
Mendinginkan baranya
Hempaskan limbaknya yang gaduh mengguruh

#2
Disaat aku kehilangan arah dan kuyup basah oleh gigil hujan
Disaat kalut melintas di dahi berkerut
Dan saat raga tak mampu menopang gerak langkah
Tunjukkan padaku bahwasanya ada kuasaMu mengalir di sungai jiwaku

#3
Tuhan,
Tuliskan qalamMu pada segenap jiwaku yang ringkih
Hingga tak ku rasai perih
Sebait saja ucapan salam dari surga
Biar kucari hakikat cinta
Dan kutapaki jejak rahmah menuju singgasanaMu

Sebuah Cerita

Aku yang sedang sendu teringat ibuku

Pernah ia bercerita tentang ketika aku terlahir yatim

Saat itu mentari tengah piatu

Padam tanpa bara

Hanya kecipak telaga memecah keheningan

Riaknya serupa goresan

Menuliskan alur kehidupan

Kehidupanku di tanah peradaban

Hingga tertidur panjang

Puisi Yang Terkoyak

Teringat ketika aku menulis puisi

Di sebongkah cermin yang retak, hatimu

Baitnya serupa gelas retak yang berserak

Belumlah ia ku beri raut

Namun badai topan merobeknya

Membuat ia terburai dan hancur berkeping-keping

Puisi serupa harapan gugur,

terkoyak

Kenangan Untuk Dinda

: Kepada Dinda

Masih kah kau mengingatnya?
Kenangan tempo dulu yang kita ukir di wajah kekasih
Kita mengeja riakriak telaga dibawah purnama
Tentang sukacita embun yang memeluk dahan jambu
Beria kita di bawahnya
Di tepi telaga yang kusebut kenang
Sebatas kenang dari matamu yang kunangkunang
Ku buatkan engkau perahu kertas dari surat cinta yang kau kabarkan padaku
Dari bentang takdir yang Dia alamatkan pada kita
Ya, tentang asmara dua hati yang tak bertaut oleh sebab kematian
Dulu sekali ku ingin bercerita tentang matahari yang dingin di punggungmu
Dan pelangi tampak berkilau dengan warnawarna di matamu
Saat kita hitung berapa lembar daun yang gugur menjadi kertas tempat kita torehkan cerita sebuah masa
Namun, tidaklah kau tahu bahwa kabut telah menutup pandangku dari melihatmu
Kini hanya aksaraaksara beku dan ayatayat yang terukir di batu nisan terkikis tempias hujan di sudut luka
Sisakan abadi sebuah duka
Aku mengingatnya, kusebut sejarah
Sekarang engkau seonggok tubuh kaku
Berselimut duka dan abadi di bawah kamboja
Dan bau kenanga dan beberapa helai kelopak mawar
Tak lagi kurasa wangi yang kau semat di dada

Dinda, perahu kertas itu kini berlayar
Bersama surat cinta dengan ribuan rindu yang tertulis di dalamnya
Berlayar menuju dermaga tempat engkau menambatkan hati
Berlayar di genang mataku yang serupa danau
Tempat kita berpesta sesaat